1. Hakikat dan Martabat Manusia
Manusia adalah ciptaan Allah yang misterius dan sangat menarik. Al Quran tidak menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang, selama manusia
mempergunakan akalnya dan karunia Tuhan lainnya. Namun, kalau manusia tidak mempergunakan
akal dan berbagai potensi dan pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya,
yakni pemikiran, kalbu, jiwa, raga, serta panca indra secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya
sendiri menjadi hewan seperti yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran.
Artinya:”mereka (jin dan manusia) punya hati tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), punya telinga tapi tak mendengar (ayat
ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama martabatnya dengan hewan bahkan
lebih rendah lagi dari benatang.”(Q.S.Al-‘Araf:179).
Di
dalam Al Quran manusia disebut antara lain dengan bani Adam (Q.S.Al-Isra:70) basyar (Q.S.Al-Kahfi:10), Al Insan (Q.S.Al-Insan:1), An Nas (Q.S.An-Nas:1).
2. Kelebihan
Manusia dan Makhluk Lainnya, Fungsi dan Tanggung Jawab Manusia Dalam Islam
Menurut ajaran agama islam, manusia dibandingkan dengan makhluk lain, mempunyai berbagai ciri
utama, yaitu:
a.
Makhluk
yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang paling baik dan ciptaan Tuhan
yang paling sempurna. Firman Allah yang artinya : “sesungguhnya kami telah
menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. Ar-Tin : 4).
Karena itu yang membedakan dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain dilihat
pada bentuk struktur tubuhnya, sesuatu yang ditimbulkan oleh jiwanya, mekanisme yang
terjadi pada setiap organ tubuhnya, proses pertumbuhannya yang melalui
tahap-tahap tertentu.
Kelemahan manusia berupa sifat yang melekat pada dirinya disebutkan
Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah:
1)
Melampau
batas (Q.S. Yunus : 12)
2)
Zalim
(bengis, kejam, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, aniaya) dan
mengingkari karunia (pemberian) Allah (Q.S. Ibrahim :34)
3)
Tergesa-gesa
(Q.S. Al-Isra’ :11)
4)
Suka
membantah (Q.S. Al-Kahfi : 54)
5)
Berkluh
kesah dan kikir (Q.S. Al-Ma’arij : 19-21)
6)
Ingkar
dan tidak berterima kasih (Q.S. Al-‘Adiyat : 6)
Namun untuk kepentingan dirinya, manusia harus senantiasa berhubungan dengan
penciptanya, sesama manusia, dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
b.
Manusia
memiliki kemampuan yang dikembangkan. Sebab sebelum ruh (ciptaan) Allah
dipertemukan dengan jasad dirahim ibunya, ruh yang berada dialam ghaib itu
ditanyai Allah, sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an yang artinya: “Apakah kalian mengakui aku sebagai Tuhan kalian? (pengaruh itu
menjawab) ya, kami akui (kami saksikan) Engkau adalah Tuhan kami “. (Q.S. Al-A’raf : 173).
Dengan pengakuan itu, sesungguhnya sejak awal dari tempat asalnya
manusia telah mengakui berke-Tuhanan. Ruh yang dititipkan kedalam rahim wanita
yang sedang mengandung manusia itu berarti bahwa manusia mengakui kekuasaan
Tuhan, termasuk kekuasaan Tuhan menciptakan agama untuk pedoman hidup manusia
di dunia ini. Ini bermakna pula bahwa secara potensial manusia percaya atau
beriman kepada ajaran agama yang diciptakan Allah yang Maha Kuasa.
c.
Manusia
diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya dalam Al-Qur’an surat Az-Zariyat yang artinya: “tidaklah aku jadikan jin dan manusia,
kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat : 56)
Mengabdi kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, yaitu :
jalur khusus dan jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus dilaksanakan
dengan melakukan ibadah khusus yaitu pengabdian langsung kepada Allah yang
syarat (waktu dan tempatnya) telah ditentukan oleh Allah, sedang rinciannya
dijelaskan oleh Rasul-Nya, seperti ibadah salat, zakat dan haji.
Pengabdian melalui jalur umum dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang disebut
amal saleh yaitu segala perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan
masyarakat, dilandasi dengan niat ikhlas dan bertujuan untuk mencari keridaan
Allah.
d.
Manusia diciptakan Tuhan
untuk menjadi khalifah-Nya dibumi. Hal itu dinyatakan dalam firman-Nya didalam
surat Al-Baqarah : 30, dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi
khalifah-Nya dibumi. Perkataan “menjadi khalifah” dalam ayat tersebut
mengandung makna bahwa Allah menjadikan manusia wakil atau pemegang
kekuasaan-Nya mengurus dunia dengan jalan melaksanakan segala yang diridhai-Nya
dimuka bumi ini (H.M. Rasjidi, 1972:71).
Dalam mengurus dunia, sesungguhnya manusia diuji, apakah ia akan
melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebaliknya, dengan buruk. Malapetaka,
sebagai akibat salah urus akan dirasakan oleh manusia, juga oleh lingkungan
hidupnya. Untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadi kuasa atau khalifah Allah,
manusia diberi akal pikiran dan kalbu, yang tidak diberi kepada makhluk lain. Dengan
akal dan pemikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia
diharapkan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah.
Manusia diwajibkan untuk bekerja, beramal saleh serta menjaga
keseimbangan dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntutan yang diberikan
Allah melalui agama.
Firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya kami telah
mengemukakan amanat, kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semua angan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikulah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zolim dan amat bodoh.”
(Q.S. Al-Ahzab : 72)
Semua makhluk kecuali manusia, hidup dan menjalani kehidupannya menurut
Sunnatullah tanpa diberi amanah dan tanpa dimintai pertanggung jawaban tentang
apa yang dilakukannya. Namun manusia, sebagai khalifah bertanggung jawab atas segala
perbuatannya yang dinilai dengan pahala dan dosa. Tanggung jawab ini bersifat pribadi,
tidak dapat dibebankan kepada orang lain atau diwariskan.
Apabila amanah dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan iman dan amal saleh menurut Sunnatullah
dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan-Nya, jadilah manusia menjadi makhluk ciptaan
Tuhan yang paling mulia dan sempurna. Tetapi jika sebaliknya maka derajat
manusia akan turun menjadi mkhuk yang hina.
e.
Disamping
akal manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kehendak. Dengan akal dan
kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh kepada Allah. Tetapi dengan akal dan
kehendaknya juga manusia dapat tidak dipercaya, tidak tunduk dan tidak patuh
kepada kehendak Allah, bahkan mengingkari-Nya menjadi kafir.
Karena itu di dalam Al-Qur’an ditegaskan oleh Allah yang artinya: “Dan katakana bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barangsiapa
yang mau beriman hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang tidak beriman
biarlah ia kafir”. (Q.S.
Al-Kahfi: 29)
Dalam surat Al-Insan juga dijelaskan yang artinya: ”Sesungguhya kami telah menunjukinya jalan yang lurus (kepada manusia),
ada manusia yang syukur, ada pula manusia yang kafir”. (Q.S. Al-Insan: 3)
Allah telah menunjukkan jalan kepada manusia dan manusia dapat mengikuti
jalan itu dan dapat pula tidak mengikutinya. Namun dengan pilihannya itu
manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya diakhirat, yaitu pada hari
perhitungan mengenai segala amal perbuatan manusia ketika masih di dunia.
f.
Secara
individual manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam
Al-Qur’an yang artinya: “Setiap orang terikat
(bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya”. (Q.S. At-Thur: 21)
g.
Berakhlaq
adalah ciri utama manusia dibandingkan makhluk lain. Artinya manusia adalah
makhluk yang diberikan Allah kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang
buruk. Dalam islam kedudukan akhlak sangat penting untuk menyempurnakan akhlak
manusia yang mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar