Rabu, 07 Mei 2014

Manusia Dalam Perspektif Islam


1.  Hakikat dan Martabat Manusia
            Manusia adalah ciptaan Allah yang misterius dan sangat menarik. Al Quran tidak menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang, selama manusia mempergunakan akalnya dan karunia Tuhan lainnya. Namun, kalau manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi dan pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya, yakni pemikiran, kalbu, jiwa, raga, serta panca indra secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan seperti yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran.
Artinya:”mereka (jin dan manusia) punya hati tapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tapi tak mendengar (ayat ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama martabatnya dengan hewan bahkan lebih rendah lagi dari benatang.”(Q.S.Al-‘Araf:179).
            Di dalam Al Quran manusia disebut antara lain dengan bani Adam (Q.S.Al-Isra:70)  basyar (Q.S.Al-Kahfi:10), Al Insan (Q.S.Al-Insan:1), An Nas (Q.S.An-Nas:1).


2. Kelebihan Manusia dan Makhluk Lainnya, Fungsi dan Tanggung Jawab Manusia Dalam Islam
            Menurut ajaran agama islam, manusia dibandingkan dengan makhluk lain, mempunyai berbagai ciri utama, yaitu:
a.       Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang paling baik dan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Firman Allah yang artinya : “sesungguhnya kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. Ar-Tin : 4).
Karena itu yang membedakan dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain dilihat pada bentuk struktur tubuhnya, sesuatu yang ditimbulkan oleh jiwanya, mekanisme yang terjadi pada setiap organ tubuhnya, proses pertumbuhannya yang melalui tahap-tahap tertentu.

Kelemahan manusia berupa sifat yang melekat pada dirinya disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah:
1)      Melampau batas (Q.S. Yunus : 12)
2)      Zalim (bengis, kejam, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil, aniaya) dan mengingkari karunia (pemberian) Allah (Q.S. Ibrahim :34)
3)      Tergesa-gesa (Q.S. Al-Isra’ :11)
4)      Suka membantah (Q.S. Al-Kahfi : 54)
5)      Berkluh kesah dan kikir (Q.S. Al-Ma’arij : 19-21)
6)      Ingkar dan tidak berterima kasih (Q.S. Al-‘Adiyat : 6)

Namun untuk kepentingan dirinya, manusia harus senantiasa berhubungan dengan penciptanya, sesama manusia, dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
           
b.      Manusia memiliki kemampuan yang dikembangkan. Sebab sebelum ruh (ciptaan) Allah dipertemukan dengan jasad dirahim ibunya, ruh yang berada dialam ghaib itu ditanyai Allah, sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an yang artinya: “Apakah kalian mengakui aku sebagai Tuhan kalian? (pengaruh itu menjawab) ya, kami akui (kami saksikan) Engkau adalah Tuhan kami “. (Q.S. Al-A’raf : 173).
Dengan pengakuan itu, sesungguhnya sejak awal dari tempat asalnya manusia telah mengakui berke-Tuhanan. Ruh yang dititipkan kedalam rahim wanita yang sedang mengandung manusia itu berarti bahwa manusia mengakui kekuasaan Tuhan, termasuk kekuasaan Tuhan menciptakan agama untuk pedoman hidup manusia di dunia ini. Ini bermakna pula bahwa secara potensial manusia percaya atau beriman kepada ajaran agama yang diciptakan Allah yang Maha Kuasa.

c.       Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya dalam Al-Qur’an surat Az-Zariyat yang artinya: “tidaklah aku jadikan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Az-Zariyat : 56)
Mengabdi kepada Allah dapat dilakukan manusia melalui dua jalur, yaitu : jalur khusus dan jalur umum. Pengabdian melalui jalur khusus dilaksanakan dengan melakukan ibadah khusus yaitu pengabdian langsung kepada Allah yang syarat (waktu dan tempatnya) telah ditentukan oleh Allah, sedang rinciannya dijelaskan oleh Rasul-Nya, seperti ibadah salat, zakat dan haji.
Pengabdian melalui jalur umum dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang disebut amal saleh yaitu segala perbuatan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat, dilandasi dengan niat ikhlas dan bertujuan untuk mencari keridaan Allah.

d.       Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah-Nya dibumi. Hal itu dinyatakan dalam firman-Nya didalam surat Al-Baqarah : 30, dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah-Nya dibumi. Perkataan “menjadi khalifah” dalam ayat tersebut mengandung makna bahwa Allah menjadikan manusia wakil atau pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia dengan jalan melaksanakan segala yang diridhai-Nya dimuka bumi ini (H.M. Rasjidi, 1972:71).
Dalam mengurus dunia, sesungguhnya manusia diuji, apakah ia akan melaksanakan tugasnya dengan baik atau sebaliknya, dengan buruk. Malapetaka, sebagai akibat salah urus akan dirasakan oleh manusia, juga oleh lingkungan hidupnya. Untuk dapat melaksanakan tugasnya menjadi kuasa atau khalifah Allah, manusia diberi akal pikiran dan kalbu, yang tidak diberi kepada makhluk lain. Dengan akal dan pemikirannya yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia diharapkan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah.
Manusia diwajibkan untuk bekerja, beramal saleh serta menjaga keseimbangan dan bumi yang didiaminya, sesuai dengan tuntutan yang diberikan Allah melalui agama.
Firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat, kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semua angan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikulah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zolim dan amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab : 72)
Semua makhluk kecuali manusia, hidup dan menjalani kehidupannya menurut Sunnatullah tanpa diberi amanah dan tanpa dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dilakukannya. Namun manusia, sebagai khalifah bertanggung jawab atas segala perbuatannya yang dinilai dengan pahala dan dosa. Tanggung jawab ini bersifat pribadi, tidak dapat dibebankan kepada orang lain atau diwariskan.
Apabila amanah dan tanggung jawab itu dilaksanakan dengan iman dan amal saleh menurut Sunnatullah dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan-Nya, jadilah manusia menjadi makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dan sempurna. Tetapi jika sebaliknya maka derajat manusia akan turun menjadi mkhuk yang hina.

e.       Disamping akal manusia dilengkapi Allah dengan perasaan dan kehendak. Dengan akal dan kehendaknya manusia akan tunduk dan patuh kepada Allah. Tetapi dengan akal dan kehendaknya juga manusia dapat tidak dipercaya, tidak tunduk dan tidak patuh kepada kehendak Allah, bahkan mengingkari-Nya menjadi kafir.
Karena itu di dalam Al-Qur’an ditegaskan oleh Allah yang artinya: “Dan katakana bahwa kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barangsiapa yang mau beriman hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang tidak beriman biarlah ia kafir”. (Q.S. Al-Kahfi: 29)
Dalam surat Al-Insan juga dijelaskan yang artinya: ”Sesungguhya kami telah menunjukinya jalan yang lurus (kepada manusia), ada manusia yang syukur, ada pula manusia yang kafir”. (Q.S. Al-Insan: 3)
Allah telah menunjukkan jalan kepada manusia dan manusia dapat mengikuti jalan itu dan dapat pula tidak mengikutinya. Namun dengan pilihannya itu manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya diakhirat, yaitu pada hari perhitungan mengenai segala amal perbuatan manusia ketika masih di dunia.

f.       Secara individual manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Setiap orang terikat (bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya”. (Q.S. At-Thur: 21)

g.      Berakhlaq adalah ciri utama manusia dibandingkan makhluk lain. Artinya manusia adalah makhluk yang diberikan Allah kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk. Dalam islam kedudukan akhlak sangat penting untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar